Selasa, 01 Desember 2015

Pelajaran Yang Berharga Selama Liburan - Cerpen



Pelajaran Yang Berharga Selama Liburan
Oleh : Dita Gayatri



Atika tampaknya sudah tidak sabar lagi melihat hasil kerja kerasnya selama satu semester ini. Dan kini tiba saatnya penerimaan rapor. Akhirnya Atika legah juga setelah melihat hasil rapornya. Ia berhasil meraih peringkat kedua dikelasnya, meskipun hanya peringkat kedua, Atika tetap bersyukur atas semua itu. Lalu Atika pulang ke rumahnya.
Sesampainya dirumah, Atika langsung memperlihatkan rapornya kepada kedua orang tuanya. Dan sesuai janji mamanya, liburan kali ini Atika akan pergi berlibur ke kampung pamannya. Keesokan paginya Atika berangkat menuju kampung paman. Malamnya Atika sampai di rumah paman. Dan Atika langsung istirahat karena ia merasa capek sekali setelah seharian diperjalanan.
Atika merapatkan selimutnya. Udara subuh di kampung paman begitu dingin menggigit kulit. Ia berusaha memejamkan matanya. Namun, ia tak bisa terlelap lagi.
            Krek…. Terdengar pintu kamar dibuka. Ternyata bibi yang masuk.
“Tika, bangun, cepat shalat subuh,” ujar bibi.
Atika segera bangun. Karena ia tau bahwa paman paling tidak suka melihat orang bangun siang. Namun sebenarnya ia masih malas melepaskan selimutnya. Setelah shalat Atika pun keluar dari kamarnya dan bergabung bersama paman minum the yang telah disediakan bibi. Lalu, Tiwi pun ikut bergabung untuk minum the. Ia merupakan putrid tunggal paman dan bibi.
“Nah… hari ini kalian mau apa?” Tanya paman.
Atika dan Tiwi pun saling berpandangan. Mereka punya ide. Paman punmengajak mereka pergi ke pasar untuk membeli pupuk dan obat hama. Mereka naik bendi paman menuju pasar.
“Waw… asik juga ya ke pasar naik bendi, jalannya pelan, pemandangan di sepanjang jalan pun terlihat sangat indah,” ujar Atika.
Setibanya di pasar, paman pun langsung menuju toko langganan memesan keperluannya. Setelah semuanya beres, paman mengajak mereka ke warung yang bersih. Paman memesan nasi uduk, sup ayam, dan es teh manis.
“Sabar….. kalian kan tadi belum sarapan. Kita makan dulu disini ya..” cegah paman.
“Makan sayur…. Amit-amit deh,” ujar Atika dalam hatinya.
Tapi, ia takut paman kecewa, ia pun mengunyah nasi uduk pelan-pelan. Hm…. Ternyata enak juga. Mereka makan nasi itu dengan lahapnya. Paman tersenyum.
“Jangan menyepelekan masakan orang desa, ya,” sindir paman.
            Selesai makan, paman mengajak Atika dan Tiwi berkeliling pasar. Suasana pasar sangat ramai. Karena hari ini adalah hari pasaran. Asik juga ya berbelanja di pasar.
Tiba-tiba langkah Atika terhenti, ia melihat seorang anak kecil didekat sebuah toko. Lalu, Atika menghampirinya,
“Hai dek, kamu ngapain disini?” tanya Atika.
“Hhmm,,aku lagi bekerja kak.” Jawab anak itu.
“Bekerja? Kerja apa dek?”
“Aku bekerja sebagai kuli angkut kak”
“Apa? kenapa kamu yang bekerja dek? Kenapa tidak ayah atau ibumu saja? Kamu kan masih kecil dek.”
“Saya bekerja seperti ini karna saya membantu ibu mencari uang untuk makan dan menabung biar saya tatap bisa sekolah kak,, ayah saya sudah meninggal dan ibu saya sedang sakit dirumah kak.”
“hhhmmm,,, yang tabah ya dek,, semoga Allah memberikan jalan terbaik untukmu.”
“Ya Allah,, dia masih kecil, dia belum pantas bekerja seperti  ini. Tapi, demi memenuhi kebutuhan hidupnya, anak sekecil ini harus bekerja membanting tulang. Jangankan ada waktu untuk bermain bersama teman, waktu untuk belajar saja dia korbankan untuk mencari uang.
Hhmm,,Aku jadi malu pada diriku sendiri, aku saja yang sebesar ini, kalau disuruh mama mencuci piring kadang aku menolak untuk mengerjakannya. Aku sungguh merasa bersalah sama mama. Mama, maafin aku ya, aku janji akan selalu nurutin apa kata mama, aku gak akan buat mama kecewa.” Ujar Atika dalam hatinya.
Atika pun melanjutkan perjalanannya kembali.
Tanpa terasa hari telah siang. Bedug dzhuhur pun bertalu-talu. Orang-orang berkemas hendak pulang. Paman membeli oleh-oleh makanan untuk dirumah. Kemudian mereka naik bendi pulang. Ketika melewati sebuah mushala di tepi jalan, paman mengajak Atika dan Tiwi shalat dulu.
            Usai shalat, Atika dan Tiwi istirahat sejenak. Mereka duduk-duduk diserambi mushala menikmati alam pegunungan yang sejuk dan indah. Dari arah timur terlihat sebuah mobil menyusuri jalan-jalan yang berkelok-kelok menuju arah mereka. Ia menanyakan arah menuju desa Talang. Setelah mencatat petunjuk dari paman, orang itu pun bertanya,
“Mas, bagaimana sikap orang-orang yang tinggal di desa Talang?”
“Kenapa kamu bertanya begitu?” balas paman.
“Aku baru saja meninggalkan kota yang masyarakatnya sangat sombong. Setahun aku tinggal disana, tak seorang pun mengenalku.”
“Begitu? Seperti itu pula masyarakat desa Talang.” Jawab paman.
            Orang itu pamit melanjutkan perjalanan. Atika dan Tiwi bersandar di dinding kayu mushala, mata mereka tak lepas dari awan-awan putih di langit biru. Angin yang sepoi-sepoi mengusap wajah mereka. Kantuk pun datang. Saat mata mereka hendak terpejam, terdengar suara seseorang menyapa paman. Tampak seorang wanita menggendong anak kecil. Ia juga menanyakan arah menuju desa Talang. Paman pun memberi petunjuk arah kesana.
“Terima kasih, mas. Oh ya, boleh saya tahu seperti apakah masyarakat desa itu?” Tanya wanita itu.
“Kenapa ibu bertanya demikian?” sahut paman.
“Saya sekeluarga baru saja meninggalkan kota kecil yang penduduknya sangat ramah”
“Hhmm…… ibu tak perlu kuatir. Masyarakat Sijunjung juga ramah.” Jawab paman.
Wanita itu kembali ke mobilnya untuk melanjutkan perjalanannya. Atika dan Tiwi kelihatan bingung sekali mendengar penjelasan paman. Mengapa paman memberikan jawaban yang berbeda untuk pertanyaan yang sama? Seakan tahu kebingungan keponakan dan anaknya itu, paman menjelaskan,
“Nak, sikap kita terhadap tetanggalah yang menentukan bagaimana para tetangga memperlakukan kita. Bukan sebaliknya. Jika kita ramah terhadap mereka, mereka pun akan ramah terhadap kita. Tapi jika kita sombong, mereka juga akan sombong terhadap kita.”
            Atika dan Tiwi mengangguk-angguk. Mereka kini mengerti mengapa paman memberikan jawaban yang berbeda untuk pertanyaan yang sama.
“Ini merupakan suatu pelajaran berharga yang kuperoleh selama liburan di kampung paman.” Kata Atika.
            Paman pun mengajak Atika dan Tiwi untuk melanjutkan perjalanan kembali. Bendi paman pelan-pelan menyusuri jalanan pulang.
“Hhmmm…. Liburan kali ini sungguh menyenangkan, begitu banyak pelajaran yang berharga ku dapatkan liburan kali ini,” ujar Atika dalam hatinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar